Rasakan Keindahan Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng: Perjalanan yang Perlu Dikenang

 Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng

Jika Sahabat KeNai mencari petualangan yang menakjubkan, maka pendakian Gunung Prau via Patak Banteng adalah pengalaman yang tidak boleh dilewatkan. Terletak di provinsi Jawa Tengah Indonesia, Gunung Prau adalah salah satu gunung paling ikonik di negara ini. Dengan pemandangan lanskap sekitarnya yang menakjubkan dan medan yang menantang, tidak heran begitu banyak petualang tertarik ke gunung ini. Perjalanan menuju puncak Gunung Prau melalui Patak Banteng merupakan pengalaman yang unik dan tak terlupakan, menantang tetapi juga disuguhi dengan pemandangan alam yang sangat indah. Jadi, kemasi tas Sahabat KeNai dan bersiaplah untuk memulai perjalanan yang akan meninggalkan kenangan seumur hidup.

Saya: "Nanti mendaki via jalur apa, Yah?"Suami: "Lewat Patak Banteng aja. Tapi, tanya dulu sama porternya dia sanggupnya bawa anak-anak lewat mana. Kata temen, lewat Patak Banteng itu pendakian kaki ketemu dada."
Saya: "Maksudnya kaki ketemu dada?"
Suami: "Di beberapa titik kemiringannya lumayan. Jadi nanjaknya bisa sampai kaki ketemu dada. Trus juga kalau musim hujan disarankan jangan lewat sana karena licin."
Saya: "Gitu, ya?"

Suami belum pernah mendaki gunung Prau. Sehingga, keputusan memilih jalur pendakian kami serahkan kepada porter. Pendakian gunung Prau ada beberapa jalur. Setidaknya ada 2 jalur yang saya ingat, yaitu Patak Banteng dan Dieng Kulon.


Jalur Patak Banteng menjadi jalur favorit para pendaki gunung Prau karena jarak tempuhnya yang pendek, yaitu sekitar 2-3 jam. Tapi, jalur ini juga paling terjal dan curam. Kalau musim hujan, sangat licin.


Perjalanan menuju Patak Banteng


Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, kami baru berangkat menjelang pukul 00.00 wib gara-gara urusan tongsis. Tidak sulit untuk membangunkan Keke dan Nai. Mereka langsung berganti pakaian, masuk ke mobil, lalu melanjutkan tidur.

[Silakan baca: Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak]

Saya masih cemas ...

Khawatir akan mengalami macet total. Google maps masih sesekali saya lihat sampai akhirnya saya pun gak kuat menahan ngantuk. Saya mulai terbangun ketika mulai masuk tol Cipali. Kendaraan dalam keadaan berhenti. Kata suami, sepanjang perjalanan tadi lancar jaya dan baru macet menjelang masuk tol Cipali. Hufft! Semoga gak lama, begitu pikir saya dan kemudian melanjutkan tidur kembali😴

Saya kembali terbangun ketika mobil berhenti di rest area Palikanci. Subuhan dulu dan toiletnya sangat antre, sodara-sodaraaa ...! Cuma ada 4 toilet di sana. 2 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Menurut bisik-bisik tetangga banyak orang, sebetulnya di dekat pom bensin jumlah toiletnya lebih banyak tapi gak ada air sama sekali. Makanya jadi aja pada antre di toilet yang dekat minimarket.

Antreannya mengular panjang, mana kalau pagi banyak juga yang jam biologisnya menuntut untuk lebih dari sekadar pipis. Kalau aja Nai gak kebelet pipis, kayaknya sama memilih untuk cari tempat lain aja, deh. Positifnya sih, suami jadi ada waktu untuk tidur sejenak. Dia kan belum tidur sama sekali. Saya sempat khawatir juga mana kami mau naik gunung. Tentu butuh stamina yang cukup.


Sarapan di RM Ibu Jamila, Brebes


sate kambing muda brebes
Sate kambing muda, IDR45K/10 tusuk
Menu yang lain lupa lagi harganya 😆


Sekitar pukul 07.30 wib, kami sampai Brebes. Saatnya sarapan. Gak sulit mencari sarapan di sini asalkan Sahabat KeNai suka dengan menu daging kambing. Sepanjang jalan berderet restoran yang menjual menu daging kambing muda. Silakan pilih aja mau makan di restoran mana, semuanya sama.

Kami pesan 20 tusuk sate, 1 porsi tongseng, dan 1 porsi gulai. Semuanya dari daging kambing. Butuh waktu sekitar 30 menit menunggu hidangan disajikan, termasuk untuk minumannya. Semua yang kami pesan, kecuali gulai ternyata pedas. Padahal kami sudah bilang jangan pakai pedas. Satenya menggunakan kecap pedas. Jadi lain kali sebaiknya minta dipisah kecapnya. Sedangkan untuk tongseng walaupun gak ada taburan rawit, tapi kuahnya memang sudah pedas. Jadi kasihan sama Nai karena dia gak kuat makan pedas. Akhirnya hanya bisa makan gulai padahal dia gak terlalu suka gulai. Lebih suka sate atau tongseng.

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan dan gak lama kemudian terkena macet hingga jembatan bulakamba. Setelah itu perjalanan lancar bahkan lengang di daerah Buwaran dengan jalan yang berkelok-kelok. Pemandangan di kiri kanannya adalah hutan. *saya agak sedikit mual karena perut mulai lapar belum makan siang hehehe*

Berhenti dulu di masjid Kalibening untuk Dzuhur. Masjidnya besar dan sangat bersih. Rasanya sangat ingin tidur-tiduran sejenak di masjid yang bersih itu sambil meluruskan punggung yang pegal. Tapi..., tapi..., gak ada air di toilet dan tempat wudhu! Padahal sungai besar mengalir dengan deras di dekat masjid. Mungkin itulah kenapa daerahnya dinamakan Kalibening, ya.  Gak ada satupun penjaga masjid di sana. Warung pun gak ada. Jadi ribet saat mau ke toilet.

Sebetulnya sekitar 300 meteran dari masjid ada Alfamart. Tapi, kami baru tau setelah selesai Dzuhur. Ya sudah, lah 😬


Bertemu dengan Porter di Kecamatan Batur


Sekitar pukul 14.00 wib kami sampai di Kecamatan Batur tempat kami janjian bertemu dengan porter. Namanya mas Ivan, temen Idah (www.ceriswisata.com). Setelah bertemu suami dan mas Ivan langsung bergegas untuk cek perlengkapan dan packing. Saya dan anak-anak mencari makan siang.

mie ayam ceker kecamatan batur
Mie ayam ceker, samping kecamatan Batur. Lupa berapa harga per porsinya tapi yang pasti murah banget 😊


Tidak sulit mencari makan siang di dekat kecamatan Batur karena lokasinya yang sangat dekat dengan pasar. Pilihannya pun beragam. Saya dan anak-anak memilih yang terdekat aja. Mie ayam ceker yang berjualan di trotoar. Setelah segala urusan selesai kami pun melanjutkan perjalanan menuju Patak Banteng.


Memulai Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng


mendaki gunung prau via patak banteng
Mulai mendaki! 😂


Basecamp Patak Banteng terlihat ramai sore itu. Antrean cukup panjang di bagian perizinan. Tapi, gak butuh waktu lama urusan izin sudah selesai. Hampir pukul 16.30 wib kami baru mulai pendakian.

Suami pernah bilang kalau mendaki sebaiknya jangan malam hari. Pendakian malam memang lebih adem bahkan dingin, tapi bisa rebutan oksigen sama pohon. Lagipula, malam hari sebaiknya digunakan untuk beristirahat.

Tapi, saat itu kami tidak punya pilihan. Mau menunda pendakian, sama aja dengan mengubah total rencana perjalanan. Kami masih ada agenda lain setelah mendaki Prau. Dengan pertimbangan kalau Prau adalah gunung pendek, kami pun tetap mendaki di sore hari. Mendaki santai aja karena saya tipe pendaki kura-kura hahaha. Tapi, Insya Allah, gak akan sampai larut malam tiba di puncak.

Dari basecamp menuju pos 1, 'cobaan' sudah dimulai. Menaiki lebih dari 100 anak tangga bikin saya mulai ngos-ngosan. Mendaki atau turun dengan jalan tangga atau berbatu memang sebetulnya lebih nyebelin dibandingkan jalan tanah.


view jalur patak banteng
View setelah melewat anak tangga. Cantik banget, ya. Beruntung sekali masayarakat di sini yang bisa setiap saat melihat serta menikmati pemandangan secantik ini.


Ketika sedang menuju pos 1, ada sejumlah pendaki muda yang kebingungan mencari air. Katanya, mereka gak bawa air sama sekali. Lha, kok bisa? Kenapa juga gak beli dulu saat di basecamp? Padahal di basecamp banyak warung.

Kami gak tau di mana mencari air karena taunya kalau di Prau memang gak ada sumber mata air. Makanya sejak dari rumah, kami membawa botol minum dalam jumlah yang cukup banyak. Memang berat, tetapi daripada kekurangan air malah gak baik buat kesehatan.

Ternyata dari pos 1 sampai pos 2 masih ada beberapa warung kecil. Para pendaki bisa makan atau sekadar beli minum. Tapi sebaiknya, sih, udah siap dari awal. Siapa tau warungnya lagi tutup atau kehabisan stok. Masa' harus turun lagi ke basecamp?


mendaki gunung prau bersama anak
Jalan tanah seperti ini lebih disukai daripada dibuat tangga dengan batu-batu
Menuju Pos 2 Gunung Prau via Patak Banteng

Jalan menuju pos 2 masih ramah buat kondisi saya. Malahan lebih nyaman dibanding dari basecamp ke pos 1. Memang sih terus menanjak dan nyaris tanpa bonus (baca: jalan mendatar) tapi setidaknya masih enak buat melangkah karena jalan tanah. Pemandangan sekeliling masih didominasi dengan perkebunan kentang. Dari kejauhan juga tampak perkampungan warga.

Setelah area perkebunan dilewati baru deh rasa deg-degan muncul. Jalur Patak Banteng memang terjal, licin dan sempit. Di kiri kanan adalah jurang. Yang bikin saya makin deg-degan adalah jarang seringkali ada pohon besar yang bisa saya jadikan pegangan.


pendakian malam gunung prau
Mulai gelap 😰


Ketika mendaki gunung Gede, pohon besar menjadi andalan saya. Seringkali saya berpegangan dengan akarnya yang kokoh. Lah, di jalur Patak Banteng ini akarnya kebanyakan kayak serabut gitu. Mana makin gelap. Memang bawa senter, sih. Tapi tetep aja meraba-raba jalannya. Saya takut hihihi...

[Silakan baca: Pengalaman Pertama Mengajak Anak Mendaki Gunung Gede via Gunung Putri]


Drama di Puncak Gunung Prau


Diantara kami berempat, hanya saya yang mendaki seperti kura-kura. Tentu gak bisa juga meminta semuanya menyesuaikan dengan kecepatan saya. Itu artinya akan membuat yang lain jadi sering berhenti menunggu saya. Dan kadang menunggunya cukup lama.

Tips: Sebaiknya jangan berhenti terlalu lama. Ketika istirahat, suhu tubuh mulai dingin. Kalau sudah dingin suka jadi malas untuk bergerak lagi. Istirahat secukupnya saja

Biasanya kami bagi jadi 2. Keke melaju duluan dengan porter. Lagipula biar porter juga mendirikan tenda duluan, jadi begitu saya sampai di sana tinggal istirahat. Grup kedua adalah saya, suami, dan Nai. Suami tentu menemani saya dan Nai memilih untuk tetap dengan bundanya. Padahal dia sebetulnya juga kuat berjalan duluan.

Mas Ivan: "Nanti, begitu sampai puncak dari tugu lalu nyerong ke arah Sindoro."

Setelah dipastikan poin ketemuan, kami pun berpisah. Memang biasanya juga begitu, kalau sampai berpisah bikin janjian dulu ketemuan di titik mana. Kami pun melanjutkan pendakian. Gak sedikitpun terpikir bahwa dalam beberapa jam ke depan akan terjadi drama di puncak Gunung Prau. Pikiran dan perasaan saya saat itu hanya dipenuhi rasa deg-degan karena jalurnya yang licin dan sempit. 😟

Di pos 2, kami menambah porter lagi. Seorang bapak tua yang akan membawakan tas Nai selama pendakian. Sebetulnya Nai kuat, tapi karena suasana semakin gelap sebaiknya ada yang membantu membawakan tas. Supaya Nai lebih leluasa bergerak.

Saya gak tau nama beliau, padahal selama pendakian beberapa kali ngobrol dengannya. Dari hasil obrolan, saya jadi tau kalau aktivitas sehari-harinya adalah penambang belerang. Kadang-kadang saja nyambi jadi porter. Kalau lihat fisiknya memang sudah renta tapi ternyata masih kuat, euy. Beberapa kali beliau ngobrol dicampur dengan bahasa Jawa yang bikin saya agak roaming. Mana saya lagi konsentrasi pula sama jalanan yang licin dan gelap. Jadi kadang-kadang saya suka telat nangkepnya hahaha.

Seperti pembicaraan yang satu ini ...

Porter: "Kalau lewat jalur ini pas lagi licin kayak gini, sering kejadian pendaki pada melorot, Mbak."
Saya: "Hah?! Melorot?"

Pikiran saya waktu itu adalah para pendaki berpegangan celana teman di depannya. Trus pas jatuh, celana temannya ketarik dan melorot. Duh! Ada-ada aja pikiran saya hahaha. Ternyata maksudnya melorot adalah pada jatuh karena tergelincir. Memang sih beberapa kali juga saya lihat pendaki terjatuh karena licin.

Tepat pukul 20.00 wib, saya pun tiba di Puncak Gunung Prau. Berarti sekitar 4,5 jam pendakian ke gunung Prau.Wuiihhh udah kayak pasar malam suasana di sana, uy! Rame bangeeeett! Gak ada sunyinya sama sekali. Puncak gunung Prau meriah dengan ratusan tenda yang berwarna-warni dan suara para pendaki. Ada yang tertawa tergelak-gelak, nyanyi-nyanyi, ngobrol dengan suara kencang volumenya, dan lain sebagainya.  

Apa saya bakal bisa tidur nyenyak dengan suasana seramai ini, ya? *saya memang cukup sensitif dengan suara. Biasanya suka mudah terbangun karena suara atau malah susah tidur.*

Drama pun dimulai...

Porter: "Tadi janjiannya di mana, Pak?"
Suami: "Katanya, sih dari tugu trus nyerong ke arah Sindoro, Pak."
Porter: "Oh, kalau ke arah Sindoro berarti ke kanan."

Tapi, sampe saya dan Nai kecapean tetap aja gak menemukan tenda kami. Porter kami sempat bertanya ke porter lain untuk memastikan arah Sindoro. Porter lainnya pun membenarkan kalau nyerong ke arah Sindoro berarti ke kanan. Tapi, gak ketemu juga tendanya. Saya pun mulai cemas. 😨

Kami kembali ke tugu. Beberapa pendaki yang berada di dekat tugu mulai membantu kami. Ada yang memberikan pop mie, susu hangat, teh hangat, hingga tolak angin. Sebetulnya, di tas kami semua itu ada. Tapi, kami sangat berterima kasih dengan kebaikan mereka. Bahkan beberapa diantara mereka turut membantu pencarian, sisanya menemani saya dan Nai.


Tips: Saat pendakian kami membawa tas masing-masing yang berisi peralatan pribadi termasuk sleeping bag dan makanan-minuman, termasuk di tas anak. Bawa makanan yang bisa langsung dimakan juga. Tujuannya untuk berjaga-jaga bila sampai terpisah dari kelompok, setidaknya masing-masing dari kami masih bisa tidur karena ada sleeping bag dan masih bisa makan-minum. Paling tenda aja yang gak ada karena dibawa oleh porter.

Para pendaki: "Nama porter dan anak Bapak siapa? Ciri-ciri tendanya bagaimana?"
Suami: "Porternya bernama Ivan. Anak saya namanya Keke. Tendanya warna orange. Vaude merk tendanya, tercetak di tendanya."
Saya: "Kelihatan rangka tendanya juga, Yah. Karena rangkanya kan di luar."

Mereka pun berpencar mencari. Porter hanya sebentar saja membatu pencarian karena mereka harus turun lagi. Selanjutnya, suami dan beberapa pendaki yang melakukan pencarian. Beberapa pendaki lain menemani saya dan Nai di tugu.. Sesekali terdengar mereka berteriak memanggil nama Ivan. Tapi hasilnya nihil. 😭

Saya Mulai Menangis...

Awalnya Nai yang lebih dulu menangis karena kedinginan dan lapar. Saya masih berusaha tenang dan mengajak Nai untuk sama-sama berdo'a semoga cepat ketemu ma Keke. Lagian katanya kalau ibunya sedih, anak juga bisa tambah sedih. Setelah minum susu hangat, teh hangat, dan pop mie yang juga hangat, tangisan Nai mulai berhenti. Giliran saya yang menangis *tepok jidat hahaha*

30 menit..., 1 jam..., gak juga ada tanda-tanda ketemu sama Keke dan mas Ivan.

Lutut kiri saya mulai sakit karena udara dingin *emang problem saya akhir-akhir ini, nih*. Kalau badan sih biasa aja. Memang dingin tapi gak sampai menggigil. Tapi, yang bikin saya menangis adalah karena panik.

Saya: "Kalau gak ketemu juga, tidurnya gimana, Yah?"
Suami: "Nanti kita cari hutan trus tidur di sana."
Saya: "Hah? Beneran harus tidur di hutan? Emang gak bisa tidur di sini?"
Suami: "Di sini dingin sama angin, Bun. Kalau di hutan setidaknya ketahan sama pohon anginnya. Lagipula sleeping bag kan ada, makanan juga ada."
Saya: "Huaaaaa! Emang gak bisa dicari malam ini juga?"
Suami: "Ini juga lagi dicari. Tapi, kalau gak ketemu juga sebaiknya tidur dulu. Setidaknya kalau besok kan terang, mau nyarinya lebih enak."

Saya mulai menangis. Tambah menangis ketika suami menegur saya yang hanya sedikit sekali makan. Ya, mana saya bisa makan kalau teringat anak. Ditambah panik pula. Walaupun ada rasa yakin kalau suami punya pengalaman untuk urusan ini, tetap aja saya takut membayangkannya. Tidur di sleeping bag memang hangat, pohon besar pun bisa menahan angin, tapi kalau ada semut yang masuk ke wajah saya yang unyu-unyu ini, gimana? 😜

Suami: "Ya, sekarang Bunda makan dulu."
Saya: "Gak mau!!"
Suami: "Nanti kalau Bunda gak makan malah sakit. Jadinya bikin masalah baru."
Saya: "Pokoknya gak mauuuuu!!"
Suami: "Tuh, Bunda emang gitu, sih. Kalau udah ngambek suka keras kepala."
Saya: "Pokoknya Bunda maunya sama Keke!!"
Suami: "Iya, ini kan lagi dicari, Bun. Bunda tenang aja dulu."
Saya: "Bunda kasihan sama Keke. Kalau kita tidur di hutan, trus dia tidur sendiri di tenda. Kalau dia gak bisa tidur karena nungguin kita, gimana?"
Suami: "Gak mungkin, Bun. Keke tuh paling jam segini udah tidur. Bunda tau sendiri kalau Keke udah tidur itu nyenyak. Udah tenang aja. Memang susah juga cari gelap-gelapan gini."

Duh, Sahabat KeNai jangan ikutin kelakuan saya, ya! Saya termasuk yang rese saat itu hahaha. Bener banget kata suami saya, kalau lagi begini yang dibutuhkan adalah sikap yang tenang. Saya memang seharusnya makan supaya jangan sakit dan menambah masalah baru. Tapi, ibu-ibu pasti pada ngerti kenapa saya gak mau makan. Kalau keinget sama anak memang suka jadi gak enak makan *alesyaaaann hahaha* Nai yang tadinya nangis, malah jadi dia yang elus-elus punggung saya wkwkwkw...

Saya: "Yah! Ayah udah cari ke seberang sana belum?"
Suami: "Seberang mana?"

Saya lalu menunjuk ke arah seberang dimana terlihat titik kecil tenda (yang sepertinya) berwarna orange. Lokasinya jauh dari keramaian.

Suami: "Jauh banget itu, Bun."
Saya: "Ya, kali memang di situ. Gak ada salahnya coba cari ke sana, Yah."
Nai: "Iya, Yah. Coba lihat ke sana."

Tapi, suami saya gak juga mencari ke sana. Memang kelihatannya lokasinya jauh dari tempat kami berada. Udah gitu terpisah dari keramaian pula.

Saya sebetulnya mulai putus asa. Mulai ada rasa marah sama mas Ivan karena susah dicari. Saya pun mulai berteriak ...

"KEKEEEE ...!!!"

Saya sengaja berteriak memanggil nama Keke karena setiap kali kami memanggi nama Ivan, selalu aja ada yang nyahut "Ya, ada apa?" Kata salah seorang pendaki, kadang suka ada yang usil. Yang dipanggil nama siapa, dia ikutan nyahut padahal itu bukan namanya. Tapi, ada juga yang nyahut karena namanya sama. Sepertinya Keke nama yang jarang saat itu, karena setiap kali saya berteriak nama Keke gak ada satupun yang nyahut.

Saya: "Kenapa sih porternya gak nyari!"
Suami: "Mungkin nunggu Keke tidur dulu, Bun."
Saya: "Emang gak bisa ajak Keke untuk cari! Trus mau cari jam berapa kalau nunggu Keke tidur dulu?"
Suami: "Paling sebentar lagi. Keke kan tidurnya cepat."
Saya: "Trus, Keke ditinggal? Kalau dia bangun, trus gak ada siapa-siapa gimana?"
Suami: "Keke kalau udah tidur jarang banget bangun."

Saya pun masih melanjutkan ngomel-ngomel sambil nangis ...

2 Jam kemudian ...

Para pendaki: "Pak, ini ada porter yang katanya mencari rombongannya. Jangan-jangan porter Bapak."

Setelah kami saling berpandang-pandangan...

Mas Ivan: "Oalaaahh! Ternyata, di sini, toh."

(Besoknya Nai cerita kalau 'Oalah' adalah the best part yang dia dengar saat itu. Karena berarti masalah sudah selesai hahaha. Sekarang, setiap kali ada yang bilang 'oalah' kami suka spontan ketawa hehehe)

Suami saya bilang kalau dia ikut instruksi. Dari tugu nyerong ke arah Sindoro dan semua porter mengarahkan ke kanan. Mas Ivan pun bilang kalau dia seharusnya bilang akan mendirikan tenda di area 'abcd' (saya lupa nama areanya). Kalau menyebut nama area itu, semua porter pasti tau, begitu menurut Mas Ivan. Dan, ternyata untuk menuju ke tenda, dari tugu lalu menyerong ke kiri. Pantes aja gak ketemu! Tapi, sempat sedikit mangkel juga sama suami karena ternyata titik yang sempat saya lihat itu adalah tenda Keke! Suami ngotot gak mau cari ke sana karena jauh. *Tuh, kan. Feeling ibu mah kuat 😂

Setengah kekesalan saya langsung lenyap berganti rasa lega karena akhirnya ketemu juga. Gak jadi tidur di hutan tanpa tenda. Dan, ketemu sama Keke lagi. Berkali-kali kami, mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pendaki yang membantu kami. Saya lupa menanyakan nama-nama mereka, yang jelas mereka adalah para pendaki muda yang tinggal di sekitar sana. Alhamdulillah masih banyak pendaki yang peduli. Terima kasih banyak.

Keke tidak ikut bersama porter karena udah tidur. Benar kata suami, porternya memang menunggu Keke tidur dulu. Gak lama setelah tenda didirikan Keke pun tidur.


puncak gunung prau
Senangnya bisa tidur di tendaaa! :D


Kekesalan saya langsung lenyap seluruhnya setelah melihat tenda kami. Mas Ivan pinteran pilih area, uy! Menurutnya, area yang dia pilih ini viewnya cakep kalau pagi. Gunung Sumbing dan Sindoro akan tampak megah tidak jauh dari tenda kami.

Kalau malam memang tidak terlihat kemegahan kedua gunung tersebut. Sayangnya karena mendung, bintang di langit malam itu pun kurang terlihat bertaburan. Tapi, yang pasti area yang dipilih mas Ivan ini sepi. Saat saya sampai di sana hanya ada 3 tenda saja. Tenda kami, mas Ivan, dan 1 tenda pendaki lain. Sangat berbeda dengan kemeriahan 'pasar malam' yang baru saja saya rasakan. Tidak ada keramaian gelak tawa, gonjrang-gonjreng gitar, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Hanya terasa sunyi di area itu. Saya bakalan bisa tidur nyenyak kalau sepi kayak begini. Senangnyaaaa... 😍


camping di gunung prau
Langsung makan banyak hehehe


Keke baru saja bangun ketika kami sampai di tenda. Tapi, gak lama kemudian dia tidur lagi. Sedangkan saya, langsung makan dengan lahap dan banyak. Rasa lapar yang tadi sempat menghilang karena sedih, mendadak muncul. Saya sangat lapar hahaha.

Saya: "Yah, kalau dipikir-pikir ... Sepertinya ini area yang Bunda tunjuk pas di tugu, deh. Yang cuma ada titik kecil trus Ayah bilang jauh banget kalau sampe bikin tenda di sana. Itu kan tugu."

Saya menunjuk area 'pasar malam' yang kali ini tampak dari kejauhan. Udah gitu, menurut mas Ivan dan Keke, mereka sempat mendengar ada teriakan memanggil nama Keke. Tapi, gak dengar teriakan nama Ivan. Jadi, sempat gak terpikir kalau itu untuk mereka. Malah Keke memilih tidur hahaha ... Teriakan saya memang mantap, karena yang manggil Keke memang cuma saya hahaha.

Suami: "Lha, ini tongsis, Bun."

Tongsis yang dicari, ternyata diam manis di ransel suami. Jadinya, tongsis penghambat perjalanan, dong? Eits, belum tentu. Tunggu cerita selanjutnya, ya. Karena setelah tongsis ditemukan, saya memilih tidur di tenda yang hangat. Nge-charge tenaga supaya bisa lihat sunrise dan turun gunung

[Silakan baca: Sunrise di Prau dan Turun Gunung via Jalur Dieng]

Post a Comment

60 Comments

  1. Wah...penuh dramatisasi ya mbak.
    Keke tidurnya kenceng banget. Ga krasa klo ditinggal xixixixiixixii...
    Pmandangannya amazing, mbak hhee

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya banyak dramanya hahaha

      Keke memang anaknya mudah tidur nyenyak :D

      Delete
  2. Akhirnya ketemu juga yaaa. Kalo aku jadi Mbak Myra sih udah panik banget. Tapi memang gak boleh panik, jadi gak menyebar paniknya.

    Gak sabar lihat pemandangan di pagi hari :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. untungnya suami saya gak gampang panikan. Jaid gak terpengaruh ma saya hehehe

      Delete
  3. Waaaa... drama banget Mbak Myr. Setelah saya ikut Ghost bosan membaca pendakiannya jadi tegang karena tidak bertemu dengan Keke. Seru banget acara Naik gunung nya :)

    ReplyDelete
  4. duuh, kebayang sih mbak paniknya gimana ;D.. akupun bkl gitu juga kali kalo anakku sampe ngilang.. trs mikir kalo sempet tidur di hutan, bukan masalah semutnya mbaak ;p, tapi ular yg aku takutin :D..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya saya juga takut banget sama ular. Sama cacing aja saya bisa jejerita. Tpai ngebayanginnya aja udah ngeri. Jadi, saya nulis semut ajah :D

      Delete
  5. Duh ngerti banget deh perasaannya kepisah sama anak. Oh ternyata tongsisnya di ransel yaaa hihi.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. ngeri dan panik, Mbak. Iya itu tongsis ternyata diam manis di ransel hehehe

      Delete
  6. Seru banget ya mak..bisa mendaki bareng keluarga. Saya suka foto pertama itu euy..cantik banget langitnya.

    ReplyDelete
  7. saya baru berkesempatan mendatangi sikunir, tapi rasanya itu udah beruntung sekali ya dan dari situ saya bisa liat prau. Saya suka tipsnya, tulisannya terasa menonjol dibanding yang lain jadi nggak bakal kelewatan, yang kelewatan tuh tongsisnya ya, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. tongsisnya diem-diem aja di tas hahaha

      Saya juga ke Sikunir ^_^

      Delete
  8. Udah laper kayak gimana, kalau belum ketemu anak, tetep aja ngga bisa makan ya Chi.

    ReplyDelete
  9. Wahhhh seruu banget petualangannya. Jalan2 dan kulineran tuh rasanya enak banget.

    Jadi pengen ndaki gunung nih

    ReplyDelete
  10. Mba Myraaa, untunglah keke lekas ketemu yaa. Panik banget itu. Mau makan ya tetap aja nggak minat. Untunglah semua baik2 saja yaa. Seru lihat pendakian. Potonya juga keren :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, alhamdulillah ketemu hehehe. Dan, dia malah tidur nyenyak

      Delete
  11. wuaaahhh mb Myra bener-bener keluarga keren... seru banget ya meskipun penuh drama eaaaa hehhehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. perjalanan kalau gak ada dramanya kayaknya kurang berwarna *eaaa :D

      Delete
  12. Puasa2 liat postingan ini, ngiler mendaki iyah, ngiler makanan yg diposting apalagi. Glek :D

    ReplyDelete
  13. Kayaknya makin anak2 besar, si bapak makin sering ngajak naik gunung ya? Si emak gimana nih?

    ReplyDelete
  14. seruuuuu euuuy..jadi pengeeen mendaki lagi..udah lamaa ngg pernah tracking di gunung..masih sanggup ngga yah hehehe

    ReplyDelete
  15. Nai berapa taun mak? udah biasa mendaki ya, seru banget :)

    ReplyDelete
  16. Waw seru sekali mbak bisa mendaki bareng keluarganya saya saja jarang mbak mendaki gunung dengan teman apalagi dengan keluarga saya.

    ReplyDelete
  17. Asyik ya mbak Myra bisa mengajak anak-anak mendaki. Pemandangnnya indah sekali. Salut juga dengan kebaikan pendaki lain yang saling menolong mencari Keke.

    Jadi pengin pergi ke pegunungan nih, nggak usah mendaki sampai puncak, dilerengnya aja pasti udah seru :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. itulah yang bikin saya cuma kapok sambal dengan mendaki, Mbak. Selalu kangen dengan pemandangannya :D

      Delete
  18. baiknya kalau mendaki hindari trek malam memang mbak, saya paling tidak suka trek malam karena ada kejadian hal-hal seperti itu, sebisa mungkin sudah sampai di tenda maksimal sore, tapi alhamdulillah keke ketemu juga ya, seru petualangannya keke naima, tetap semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Ev. Cuma karena setelah dari Prau kami lanjut ke Sikunir dan sudah booking penginapan pula. Jadi dengan berbagai pertimbangan, mendaki tetap dilakukan sore hingga malam :)

      Delete
  19. Klo saya justru enaknya naik pada malam hari mbak. Adem dan perasaan lebih cepet nyampe. Sayang gak bisa lihat pemandangan kalau ndaki malam hehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau kata suami saya, kalau malam rebutan oksigen ma pohon hehehe

      Delete
  20. Dahsyat foto foto atau jepretannya itu. Maut maut semua hasil fotonya Luar biasa Saya bisa menangkap dengan jelas susana pendakian, dan malam yang menjelang diantara lampu lampu sorot dan para pendakinya, Serasa saya ikut berada dalam petualangan di dalam cerita ini. Oh ya baidewi baswei BREBES itu kan terkenalnya dengan Telor Asin kan ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, Mas. Iya, Brebes terkenal dengan telur asin :)

      Delete
  21. Aku tetep gak bisa bayangin kalo mau ke belakangnya. Nanti tulis ya pengalaman kalo mo pipis atau pup gimana sih kalo naik gunung gitu

    ReplyDelete
  22. Wuahahaa dramanyaaa, kalo aku udah panik nangis darahhh wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwkkw... Saya pun udah gak mikirin malu ketika menangis :D

      Delete
  23. serunyaaa mbak... aku belum berani naik gunung

    ReplyDelete
  24. Kapan yah Mba Mira, aku bisa ajak Kiddos hiking... hehe... Pengen sih, tapi musti siap mental dulu ya emaknya terutama:D

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah saya pun emaknya dulu yang harus siap mental hehehe

      Delete
  25. Seruu banget mbak baca ceritanya, kalau aku di posisi mbak pasti udah mules pusing gak karuan mikirin anak yg entah di mana.. keke dan nai keren iih, bisa diajak naik gunung..

    ReplyDelete
  26. Wah asyik banget mbak :D
    ane dari dulu pengen muncak belum kesampaian. Hahaha

    ReplyDelete
  27. AIhhhhhhh deg degan, dan Keke bisa aja ya tenang, bisa ditinggal, tidru pula, ngga panik hilang kontak sama mama, wahhhh anak hebat. Keren. Nanti seperti itu juga kali ya kalau menghadapi masalah mba, tenang hihihihi. Keke punya 6th sense kali ya, bahwa dia tau dia ngga hilang.

    Kalau aku naik gunung, hadohhhh dgn fisik yg sangat ngga terlatih begini, aku bisa nyusahin orang segunung kali ya hahahhaah. Aku duduk manis selimutan dan baca serunya cerita mba Myra aja lah ya hahhahahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untungnya anaknya memang tenang. Sayanya yang suka heboh hehehe

      Delete
  28. Oalaaahh.. Kekeeee... bundamu udah resah dan gelisah engkau ternyata asyik bobok :)) Liburan lebaran kemarin aku ke Dieng dan di Patak Banteng berhenti sebentar numpang ke toiletnya penduduk setempat hihiii.. kejebak macet gila2an di sana. BTW Mak Chi tau artinya Patak? ;)

    ReplyDelete
  29. Pemandanganya Masya Allah ya mba.. :D
    selama ini cuma main main doang dilereng gunung, belum pernah tracking.. pernah sih sekali cuma di gunung Telomoyo,itupun pake sepeda motor.Wkwkw

    ReplyDelete
  30. mba..mau naanya, waktu itu bawa mobil sendiri yaa? parkirnya dimana yaaa? in syaa alloh saya mo ngajak keluarga kesana.. ada no porter yang bisa saya hubungi ngga ayaa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di dekat base camp Patak Banteng ada tempat parkir umum. Para pendaki yang bawa kendaraan, biasanya parkir di sana. Insya Allah, mobil aman parkir di sana.

      Saya lupa nomor kontak mas Ivan. Coba lihat IG IdahCeris. Mas Iven iti teman Idah.

      Delete

Terima kasih untuk kunjungannya. Saya akan usahakan melakukan kunjungan balik. DILARANG menaruh link hidup di kolom komentar. Apabila dilakukan, akan LANGSUNG saya delete. Terima kasih :)