The Man Behind The Gun

The Man Behind The Gun
The man behind the gun


Kamera sudah menjadi kebutuhan untuk saya jauh sebelum menjadi blogger. Dari dulu senang aja foto-foto. Ketika lulus SMA, sempat punya keinginan untuk sekolah photography walaupun harus kandas. Tapi hobi motret sana-sini gak pernah pupus. Malah setelah menjadi blogger, makin merasa membawa kamera adalah sebuah kebutuhan.

Apalagi kalau buat jalan-jalan penting banget bawa kamera. Mau nanti diupdate ke blog, social media, atau malah gak sama sekali itu urusan belakangan. Yang penting punya dokumentasi. Suka rada kecewa kalau lupa bawa kamera atau pas batterenya habis dan lupa discharge.

Pernah coba pakai DSLR. Asik, sih. Tapi bener juga kata suami kalau pergi ke beberapa tempat kadang jadinya ngerepotin karena berat. Selain itu gak bisa dikantongin kayak pocket camera hehehe.

Walaupun begitu, kadang saya suka ada rasa gak nyamannya kalau bawa pocket camera. Biasanya kalau lagi ketemu para blogger dan kebanyakan pada bawa kamera gede (DSLR atau mirrorless). Suka langsung rada ciut nyali ini. Minder dikit hahaha.

Biasanya kalau udah gitu saya mulai mengingatkan dan menyemangati diri sendiri. ‘Udah, ah! Gak usah minder. Ingat, the man behind the gun.’ Bukan untuk pro-kontra, sih. Ini lebih ke arah menyemangati diri sendiri. Ya, daripada dimanjain mindernya nanti malah gak bergerak sama sekali.

Beberapa kali ikut pelatihan photography singkat, membuat saya makin yakin bahwa apapun kameranya masih bisa dimaksimalkan. Memang sih gak menutup kenyataan kalau yang motretnya jago trus kameranya juga canggih pasti hasilnya bakal kece badai. Tapi bukan berarti yang punya kamera seadanya gak bisa menghasilkan foto bagus. Yang punya kamera bagus juga gak otomatis hasilnya bagus kalau asal jepret, kok.

Saya juga suka lihat reality show Photo Face-Off di salah satu channel tv berbayar. Tentang kompetisi photographer professional vs amatir. Gak selalu pemenangnya yang pro, lho. Kadang yang amatir juga bisa mengalahkan padahal dikasih kamera yang sama. Kalau udah inget ini, suka jadi rada percaya diri kalau faktor the man behind the gun itu penting.

Saya suka potret apapun. Suasana, orang, makanan, atau lainnya. Paling sering dijadikan objek foto sih Keke dan Nai walaupun sekarang seringnya candid. Makanan juga termasuk objek yang sering difoto. Untungnya, suami dan anak-anak mengerti hobi saya. Mereka gak mengeluh ketika harus mengalah sejenak, membiarkan saya memotret makanan yang disajikan baru disantap. Atau jangan-jangan udah pada pasrah, ya? Hehehe

Tapi kayaknya enggak, sih. Sekarang udah pada mulai suka ikutan kebiasaan saya. Awalnya Nai yang ikutan. Kemudian suami dan Keke juga mulai ikutan. Resmi sudah kami menjadi keluarga yang suka foto-foto makanan sebelum disantap hahaha.

Kalau udah begini jadi kepikiran punya kamera baru. Mirrorless kayaknya asik juga, ya. Cari promo kamera mirrorless di MatahariMall.com, ah. Tapi, kalau punya mirrorless bakal ribet dibawa jalan-jalan gak, ya? Mungkin iya, mungkin tidak. Kalaupun repot, sesekali aja gak apa-apa kali, ya. Buktinya waktu mendaki gunung Prau juga kami malah bawa Drone. Berat, sih tapi puas sama hasilnya yang kece *muji karya sendiri. Eh, suami yang berkarya, ding :D*

Kalau gitu … “Yaaaah! Bunda pengen mirrorless! Beliin, ya.”


Post a Comment

0 Comments