Lapis Legit, Bika Ambon, dan Etika Content Creator

Sahabat KeNai, menyimak gak keramaian beberapa hari terakhir ini di berbagai platform medsos tentang lapis legit dan bika ambon?

Lapis Legit, Bika Ambon, dan Etika Content Creator

Panjang kalau diceritain utuh wkwkwk. Intinya, beberapa content creator mengkritik lapis legit dan bika ambon salah serorang penjual yang juga terkenal di dunia maya. Sejak awal, saya gak memihak siapapun, malah sebel banget sama kedua kubu. Terlalu ngedrama!
 
Berasa aneh aja dalam waktu bersamaan beberapa content creator mereview di bika ambon tersebut ada binatangnya. Kalau pun beneran ada, menurut saya sebaiknya sampaikan langsung ke penjualnya. Bukan malah dikontenin. Di sisi lain, saya paham kalau penjualnya merasa kesal. Tapi, ungkapan kemarahannya berasa berlebihan. Jadi kayak antikritik aja gitu.

Ketika drama tersebut bermunculan terus, saking banyak yang bahas, saya memilih skip. Tapi, kenapa sekarang saya tertarik membahas?

Ternyata, dramanya melebar ketika salah seorang influencer mereview lapis legit merk lain. Brand lapis legit yang legend dan harganya murah meriah. Ya kalau dibandingkan yang bener-bener lapis legit, tentu jauh beda harganya. Reviewnya memicu kemarahan banyak netizen karena influencer ini menyebut "kaum kembang kempis" untuk yang mampunya beli merk ini.

Lumayan panjang juga ya pembukaannya hehehehe. Karena akhirnya melebar ke mana-mana, bahkan sampai menyenggol reviewer makanan secara general, saya jadi tertarik beropini. Udah pernah saya tulis di Thread, sih. Tapi, kayaknya di blog bakal lebih puas karena bisa lebih panjang nulisnya.

Baidewei,
saya ambil POV sebagai penonton atau pembaca konten review kuliner, ya!


Reviewer Kuliner Tidak Harus Memiliki Background Sekolah Kuliner

 
Pendapat saya yang pertama ini mungkin akan menjadi unpopular opinion bagi sebagian netizen. Setiap kali ada kehebohan tentang review kuliner, selalu ada aja yang bilang kalau seorang reviewer haruslah yang memiliki background kuliner.

Tentu pendapat tersebut menggelitik saya sebagai seorang blogger yang suka mengulas makanan di blog ini. Bahkan saya juga membuat reviewnya di medsos. Padahal saya gak punya background pendidikan kuliner. Apa itu artinya saya gak boleh?

Tapi, saya akan menjawab dari sisi penonton atau pembaca konten. Saya pribadi, GAK PERNAH melihat background blogger/vlogger yang mengulas kuliner. Saya selalu memposisikan diri seperti mendengar seseorang sedang bercerita.

Bayangin keluarga atau teman yang sedang menceritakan kuliner yang baru dicoba. Tentu saya gak akan melihat apakah keluarga atau teman saya ini punya background kuliner atau enggak. Karena mereview kuliner kan harusnya berdasarkan pengalaman pribadi. Siapapun boleh menceritakan petualangan rasanya!

"Ya, kalau gitu jangan bilang reviewer kuliner! Bilang aja penikmat makanan."

Hmmm ... ya udah gak apa-apa. Saya pribadi gak keberatan dibilang penikmat makanan. Tapi, kembali lagi ke sikap saya yang memposisikan diri ketika mendengar atau melihat seseorang sedang bercerita tentang makanan.

Saya membayangkan ketika orang tersebut bercerita steak yang dimakannya enak karena dimasak menggunakan teknik reverse sear. Apakah semua orang awam akan langsung tau teknik tersebut? Saya rasa enggak.

Katakanlah di review tersebut dijelaskan secara singkat teknik yang dimaksud. Kita yang menyimak tentu dapat ilmunya. Tapi, kembali lagi, enak atau enggak kan kembali ke selera masing-masing.

Dan, terkadang saya hanya ingin melihat konten yang biasa aja. Makanannya terlihat menggiurkan, tempatnya nyaman, lokasinya strategis, dan lain-lain. Pastinya jangan sampai menghina. Bagian menghinanya itu red flag banget buat saya. Sebagus apapun visual kontennya, kalau udah menghina ya skip!


Banyak Informasi Bertebaran di Google atau Lainnya


Okelah muatan pengalaman pribadinya memang mendominasi. Tapi, sebaiknya juga jangan ngasal. Apalagi kalau ini bicara konten yang untuk konsumsi publik.

Salah satu hal yang bikin ramai tentang review Bika Ambon akhir-akhir ini bukan hanya karena di dalamnya ada binatang. Tapi, salah satu influencer mengkritik kalau bika ambon yang dia beli tuh keras kayak sabun. Ternyata dia simpan dulu di kulkas. Ah elah! Kue apapun kalau ditaro di kulkas kayaknya bisa jadi keras!

Ada lagi influencer yang bilang kalau bika ambon yang dia beli gak wangi butter. Gak ada wangi Wijsman. Duh! Sejak kapan bika ambon wanginya butter? Lagian gak semua kue harus "ter-wijsman wijsman" wanginya 😄

Tapi, terima kasih banget buat netizen. Saya jadi tau yang namanya bolu suri dari Palembang. Secara penampilan mirip banget sama bika ambon. Tapi, aroma dan rasanya berbeda. Kalau yang wangi butter ya bolu suri ini kata netizen.

Intinya, cari infolah di Google atau media lain. Gak harus jadi pakar kuliner, kok. Tapi, setidaknya yang umum-umum begini tuh tau. Biar gak ngasal banget infonya.


Review Jujur Bukan Berarti Bicara Apa Adanya Tanpa Rem


Saya suka agak gregetan dengan pendapat kalau mereview endorse berarti gak jujur. Hmmm ... Mungkin ini unpopuler opinion lagi dari saya yaitu mau review organik atau endorse, semuanya bisa jujur!

Kuncinya ada di pengolahan kata dan paham situasi. Kalau kita bicara di sirkel tertutup, bisa lebih bebas mau ngomong apapun. Tapi, kalau udah bicara konten, apalagi siapa pun bisa menonton, harus diperhatikan deh etika sebagai content creator.


Belajar Membedakan Kritikan dan Hinaan

"Dia memang begitu karakternya. Kalau mereview suka ceplas-ceplos."
 
Gak ada yang salah dengan gaya ceplas-ceplos. Gak harus juga kok mereview dengan gaya lemah lembut. Tapi, ceplas-ceplos kan bukan berarti bisa ngomong seenaknya. Tetap harus bisa bedakan mana kritik dan hinaan.
 
Apakah boleh memberi kritikan ketika mereview?

Menurut saya pribadi, boleh banget. Coba deh lihat berbagai konten kuliner. Banyak kok yang sebetulnya bagus. Kalaupun ada kritikan, bukan menjatuhkan. Memang harus bisa ya membedakan kritikan dan menghina. Banyak pilihan kata yang bagus, kok.


Belajar Public Speaking

Sahabat KeNai pernah menonton acara Wisata Kuliner Pak Bondan Winarno?

Sekarang bisa lihat tayangan ulangnya di channel YouTube Trans TV Official. Nah, pernah gak lihat beliau menghina makanan atau minuman? Enggak, kan.

Setahu saya, beliau punya 2 istilah yaitu Maknyus dan Top Markotop. Maknyus kalau levelnya udah enak banget. Top Markotop ya di bawahnya. Gak ada tuh cerita almarhum pak Bondang menghina kuliner.

Jadi, mengolah kata-kata gak menjadikan ulasan kita tuh palsu, kok. Tetap bisa mereview dengan jujur. Belajarlah public speaking. Bisa dengan kursus atau otodidak pun gak apa-apa.
 
Ada juga salah satu masukan dari netizen yang saya baca di thread. Katanya, gak cuma di pemilihan kata. Belajar juga mengontrol ekspresi. Ada kan yang ucapannya sih biasa aja. Tapi, ekspresinya kayak jijik sama makanan tersebut. Coba deh kita sama-sama belajar mengontrol kata-kata dan ekspresi.


Gak Semua Harus Dikontenin

"Istilah kaum kembang-kempis kan datang dari fansnya. Jadi, dia cuma ngikutin apa kata fansnya"
"Dia cuma mengikuti permintaan fansnya yang minta mereview produk itu."

Gak semua kemauan fans harus diturutin. Malah kalau kayak kayak gitu, saya jadi mempertanyakan arti influencer. Bukankah influencer artinya seseorang yang mampu mempengaruhi orang lain? Jadi, kenapa malah influencernya yang ngikutin kemauan fans melulu? Hanya untuk mengejar FYP atau gimana?

Sekali lagi, ketika konten sudah dipublikasi secara umum, makanya siapa pun bisa menonton. Gak hanya fansnya. Emang siap dikritik keras ketika kontennya jadi viral karena kejadian seperti itu?

Bagi yang tujuannya cuma untuk viral mungkin gak peduli kontennya akan mendapatkan banyak pujian atau kritikan. Pokoknya yang penting viral. Sangat disayangkan!
 
Tapi, bagi yang masih punya kepedulian, saya kasih tau ...
 
Konten seperti itu banyak membuat UMKM geram. Karena berpotensi menjatuhkan usaha mereka. Padahal membangun usaha kuliner tuh gak mudah. Apalagi dengan kondisi saat ini. Gak heran kalau semakin banyak UMKM yang gak mau usahanya dikontenin. Bahkan kalau lihat ada motret, udah curiga duluan. Padahal bisa aja kan yang mendokumentasikan cuma untuk pribadi.

Mereka yang sekarang ini lagi dianggap bikin ulah kan punya follower banyak banget. Ada yang cuek banget meskipun udah berkali-kali kena kritik karena reviewnya suka dianggap ngasal. Ada yang akhirnya di-take down, tapi pilih-pilih media. Konten yang diturunkan cuma di platform medsos yang menuai banyak kritikan. 

So, jangan cuma kemauan fans (saya bilangnya fans, karena follower belum tentu ngefans) yang diperhatiin. Tapi, pikirin juga dampaknya ke pihak lain yaitu UMKM dan reviewer makanan lainnya.

Seperti yang saya bilang di awal semakin banyak opini bahwa reviewer kuliner harusnya yang punya background kuliner. Padahal menurut saya, banyak lho reviewer kuliner besar dan kecil yang tetap asik ngereviewnya. Bener-bener pengalaman pribadinya berasa tanpa harus menjatuhkan pihak mana pun.

Gara-gara kejadian ini, image reviewer kuliner jadi digeneralisir jelek oleh sebagian orang. Sedih, kan! Padahal sama halnya sepertinya usaha kuliner, membangun personal branding sebagai reviewer juga bukan hal mudah. Tapi, kena imbasnya juga karena ulah beberapa influencer.

Oiya, ngomong-ngomong tentang 'gak semua harus dikontenin', saya juga punya pengalaman tentang hal ini. Beberapa waktu lalu, makan di salah satu warung kaki lima. Tempatnya bersih, makanan enak, harganya juga masih bersahabat. Tapi, yang bikin saya batal bikin kontennya karena gak sreg sama penjualnya.

Warung tersebut katanya punya sambal andalan. Saat saya dan suami ke sana, sambalnya ini tinggal seuprit. Sambal lain yang masih banyak. Penjualnya bilang sama sambalnya sama aja rasanya sama. Sebetulnya saya gak percaya, tapi tanpa ada protes, saya tetap minta sambal yang tinggal seuprit itu untuk membandingkan.

Bener aja, rasanya jauh beda. Sambal yang katanya andalan itu sambal goreng dan ada rasa manis. Sedangkan yang satunya sambal mentah dengan rasa terasi yang cukup kuat dan pedasnya berasa banget.

Nasi uduknya pun gak ada. Alasannya, udah beberapa hari ini bossnya lagi malas bikin nasi uduk. Saya hanya ngikik mendengar penjelasannya. Hingga kemudian ...

Mas A: "Besok makan di sini lagi ya, Pak. Besok udah ada nasi uduknya."
Pembeli: "Bener ya besok ada."
Mas A: "Iya, Pak!"

Penjualnya ada 2 orang. Ketika ada pembeli yang selesai makan, salah seorang dari mereka bilang besok udah ada nasi uduk. Tapi, setelah pembeli tersebut pergi ...

Mas B: "Memang besok boss mau bikin nasi uduk?"
Mas A: "Ya gak tau."
Mas B: "Gak tau kok ngejanjiin besok ada nasi uduk. Kalau besok, bapaknya balik ke sini trus gak ada nasi uduk gimana?"
Mas A: "Ya udah biarin aja. Gak apa-apa."

Saya dengernya langsung kesal. Ketika rasa kedua sambal berbeda, padahal penjualnya bilang sama, saya masih biasa aja. Ketika dibilang bossnya lagi malas bikin nasi uduk pun saya masih bisa ngikik.

Setelah sampai rumah, saya mikir berulang-ulang. Sejujurnya, makanannya beneran enak. Tempatnya juga bersih. Harganya juga masih ramah. Tapi, saya tetap aja sebel ma penjualnya. Gak suka aja gitu kayak sengaja ngebohongin pelanggan.

Setelah dipikir berulang kali, saya memutuskan untuk gak membuat ulasannya. Daripada nulisnya setengah hati. Khawatirnya sadar atau enggak malah jadinya julid. Udahlah mending gak usah ditulis sekalian.

Ya begitulah unek-unek panjang saya tentang lapis legit, bika ambon, dan etika content creator. Yuk kita bikin sama-sama enak. Sama-sama bikin konten yang tidak menjatuhkan pihak lain. 
 
Apalagi saya baca beberapa komen yang bilang kalau sekarang katanya memang sedang tren membuat review menjatuhkan image brand. Duh! Serem bener sih tren begini 😡.

Info terbaru, malah katanya modus pemerasan berkedok 'jasa takedown'. Sengaja ngereview jelek. Kalau pelaku usahanya protes, influencer tersebut akan take down kontennya asalkan ada bayaran (yang tentu aja gak sedikit). Kabarnya sudah ada laporan ke polisi karena korbannya banyak. Sahabat KeNai jangan kayak gini ya kalau mau mereview. Ngeri!
 
Netizen Indonesia memang masih banyak yang suka nonton konten ngedrama. Konten kayak gitu banyak penontonnya. Padahal penonton tersebut belum tentu beli produknya. Memang cuma suka dramanya aja. Makanya mungkin tren kayak gitu ada. Jangan dong yaaaa!

Oiya, ini sih mungkin tentang selera, ya, Lagi-lagi POV saya sebagai penonton, bukan reviewer. Saya pribadi, sukanya nonton konten yang cara makannya biasa aja. Misalnya kalau beli bolu, bisa dong ya dipotong dulu. Bukan bolu seloyang dimakan gitu aja. Ya ini sih masukan saya aja.

Post a Comment

24 Comments

  1. Kalau aku pribadi suka dengan konten-konten review tapi juga seringnya nonton dari sisi pakar kuliner juga. Jadi sebagai pembanding gaya bicara dan cara penyampian, yang kadang jadi tolak ukur mana reviewer yang bisa dipercaya atau reviewer yang sekedar 'jual' kontennya aja atau gimmick naikin popolaritas. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup! Saya pun begitu. Dari pakar jadi bisa mendapatkan ilmu. Jadi, semua memang bisa ada manfaatnya. Asalkan kontennya bagus

      Delete
  2. Wah, menarik banget pembahasannya, Kak! Aku setuju kalau review makanan itu harus tetap jujur, tapi juga ada etika. Kadang memang ada content creator yang terlalu mengejar drama sampai lupa kalau ada usaha kecil yang bisa terdampak. Bagian tentang reviewer kuliner nggak harus punya background kuliner juga aku setuju banget, karena pada dasarnya review itu pengalaman pribadi. Dan soal nggak semua harus dikontenin, ini bener sih! Kadang ada hal yang lebih baik disampaikan langsung daripada dijadikan konten😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya. Jangan hanya karena ingin memenuhi keinginan penggemar. Padahal ada pihak-pihak lain yang juga harus diperhatikan

      Delete
  3. Kalau menurutku sih penting juga latar belakang seseorang ketika liat review, gak perlu latar belakang formal sih buat aku, yang penting ada pengalaman gitu biar hal yang dia sampaikan bisa dipertanggungjawabkan juga sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi, maksudnya hanya yang ounya background kuliner yang boleh menjadi reviewer makanan dan minuman? Berarti kita sepakat untuk gak sepakat, ya. Tapi, ya gak apa-apa. Menurut saya, tentang tanggungjawab seharusnya semua menyadarinya. Makanya penting sekali paham literasi digital. Supaya tau do's and don'tsnya di dunia digital

      Delete
  4. lapis legit lagi nge-tren ya sekarang, semua yang aku coba hampir enak semua sesuai selera yaitu basah berminyak pasti lezat~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya ngetren karena berawal dari food reviewer yang bikin konten kontroversial. Padahal lapis legit kan memang enak

      Delete
  5. Review baik suatu produk adalah bagian dari strategi promosi yang bisa didapat dengan jujur dari pelanggan yang merasa terpuaskan. Konten review bukan nilai tambah bila niatnya menjatuhkan suatu produk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup! Mau organik atau endorse, tetap aja sebaiknya pakai komunikasi yang baik. Seandainya gak puas banget, mending gak usah dikontenin

      Delete
  6. Artikel ini keren banget! Bikin aku makin paham soal etika content creator. Plus, lapis legit dan bika ambon emang nggak pernah salah! Thanks udah share tips dan insight yang super bermanfaat ini, jadi makin semangat buat terus belajar!

    ReplyDelete
  7. Aku belum tahu tuh soal review lapis legit & bika ambon yg viral. Dua-duanya kue yang aku suka sih. Kok serem ya review yang trend malah yang ngejatuhin brand.
    Aku sih...belum berani mereview makanan, karena selera sih. Tapi kalau mereview resto atau tempat makan sesekali pernah, lebih ke ruangan & layoutnya...

    ReplyDelete
  8. Sependapat sih, jika saya nggak suka terhadap rasa makanan atau hal lainnya, lebih baik jangan kasih review ya. Apalagi kuliner itu soal selera, sifatnya subjektif. Kadang yg kita tidak suka, malah bisa jadi orang lain suka.

    ReplyDelete
  9. Ah sama banget Myra. Jika sesuatu itu gak sreg di hati, mending ditinggalkan aja. Jangan biarkan diri kita terjebak pada review yang akan menjatuhkan orang lain. By the time, nantinya, publik akan tahu dan mensortir tempat atau makanan itu dengan sendirinya. Yang berkualitas atau mempertahankan kualitas akan bertahan seiring dengan waktu.

    ReplyDelete
  10. Pasti ini tentang si 'itu' ya. Duh dari dulu kemunculannya, saya sudah ga rispek banget mbak. Cara reviewnya loh aneh dan cenderung emang menjatuhkan.

    ReplyDelete
  11. Setelah ada beberapa yang mereview bika Ambon itu, saya kok curiga itu trik marketing aja. Sebelumnya saya termasuk nggak tahu tentang bika ambon jualannya si Cici itu.
    Yup, jangan sampailah bikin konten yang menjatuhkan. Jadi ingat di beberapa rumah makan sering nemu tulisan "Jika rasanya enak, beritahu teman, jika ada yang kurang beritahu kami" Artinya menyampaikan kritik/keluhan itu emang sebaiknya secara personal saja ke pengelola resto, bukan di media sosial

    ReplyDelete
  12. Jadi pembelajaran sih, sebagai kreatif konten sebelum mengulas sebuah makanan atau kuliner, hendaknya tahu lebih dulu komposisi sebenarnya itu apa aja. Biar gak asbun, masa iya buka ambon pakai butter, memangnya nastar hehe

    ReplyDelete
  13. Pentingnya etika dalam mereview makanan, agar konten tetap berkualitas dan edukatif, tanpa melupakan nilai budaya kuliner. KAdang saya banyak menemukan opini konten kreator yang sangat dangkal tanpa melihat dari akar keilmuan yang akhirnya malah melihat dari sudut pandang tidak suka saja. Padahal ada banyak hal lain yang bisa disorot

    ReplyDelete
  14. Aku juga lumayan gregetan sih sama kisruh lapis legit dan bika ambon ini. Saat kisruh-kisruh begini, aku lihat konten yang membahas soal penggunaan kata untuk review makanan. Jadi, katanya alih-alih bilang enak, ada pilihan ungkapan lainnya yang benar-benar mewakili rasa makanan.

    Contoh, kalau misalkan sedikit berminyak tapi masih oke buat kita nikmati, dia menyebutnya light. Dan semacamnya.

    Mereka yang mereview lapis legit dan bika ambon seolah memang pingin membuktikan kalau apa yang dibilang oleh konten kreator sebelumnya benar atau salah aja.

    ReplyDelete
  15. Setuju, kak. Reviewer itu tetap harus kontrol apa dan bagaimana menyampaikan ulasannya. Contoh, penting untuk selalu menyisipkan, "Menurut saya," atau "Kalau buat saya" dan semacamnya. Karena perasaan itu relatif. Lalu, alih-alih bilang jelek atau nggak enak, mungkin bisa dengan "Saya nggak suka", atau deskripsikan seperti "Kurang bumbu, kurang kuat," dsb.

    Dan betul, kalau ada kritik yang fatal, bisa coba disampaikan dulu. Namanya orang punya usaha, pasti pengennya diulas yang baik-baik.

    ReplyDelete
  16. Warna plus enam dua emang mudah dipecah dan dialihkan. Kasih aja konten di luar Nurul
    Pasti memanas. Kasih yg sensitif sedikit langsung berkoar-koar...
    Tapi lupa etika. Semoga aja Blogger gak begitu ya... Apalagi udah baca artikel ini jadi tahu kan mana yg seharusnya dan mana yg sebaiknya kita hindari

    ReplyDelete
  17. Iyaa yaaa...itu rame banget kasusnya sampai trending di medsos..saling serang..saya setuju dengan prinsip kakak bahwa bikin konten itu kalau bisa sama-sama enak. Sama-sama bikin konten yang tidak menjatuhkan pihak lain. Jadi adem kalau begini prinsipnya. Benar² yang diulas adalah fokus pada produk yang kita ulas.

    ReplyDelete
  18. Aku ga tahu menahu tentang ramainya bika ambon ini tapi lewat tulisan ini jadi tahu gimana mengulas suatu makanan dengan memperhatikan etika dan menjaga kualitas. Kalau alm. Pak Bondan itu aku suka menonton cara beliau membahas suatu makanan, jadi menambah ilmu bagi penonton dan juga kepingin. Iyes, beliau tidak menjatuhkan, lebih ke membuat deskripsi karena makanan itu kan soal selera, yah.

    ReplyDelete
  19. Waaah iya itu rame banget di platform medsos tertentu ya. Kayaknya emang itu jadi trik si pemengaruh kuliner tersebut atau mungkin udah karakter bawaan ya, minus attitute. Btw, saya setuju teh, untuk review kuliner gak perlu sekolah, kan kita setiap hari makan, apalagi reviewer itu personal banget pengalamannya ya, sama kaya blogging, ada sisi pengalaman personal saat ngereview...

    ReplyDelete

Terima kasih untuk kunjungannya. Saya akan usahakan melakukan kunjungan balik. DILARANG menaruh link hidup di kolom komentar. Apabila dilakukan, akan LANGSUNG saya delete. Terima kasih :)