
Sunrise di Prau dan turun gunung via Dieng
Setelah drama kehilangan Keke selesai, saya pun menutup malam itu dengan
makan yang banyak kemudian dilanjutkan tidur nyenyak. Malam itu, udara
Prau tidak terlalu dingin. Padahal saya sudah membayangkan akan menggigil
bila malam telah tiba. Mungkin ketika mencari Keke, saya sudah cukup
menggigil. Sehingga, begitu masuk tenda malah terasa hangat. Saya pun
tidak terlalu merapatkan sleeping bag. Malahan suami memilih gak pakai
sleeping bag. Cukup pakai sarung aja.
[Silakan baca:
Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng]
Sunrise di Prau
Suami: "Bun, bangun. Mau lihat sunrise, gak?"
Jam di handphone menunjukkan pukul 05.00 wib. Ugh! Rasanya malas sekali
keluar tenda. Ngebayangin dinginnya udara luar bikin saya malas. Enakan
bergelung di dalam tenda aja dan melanjutkan tidur.
Kemudian saya berpikir kalau selama ini sering banget gagal melihat
sunrise dimanapun. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh salah seorang
penyiar radio ketika bertanya kepada para pendengarnya lebih suka sunrise
atau sunset. Mayoritas mengatakan sunset. Dan penyiar tersebut
menyimpulkan kalau banyak yang lebih memilih sunset karena malas bangun
pagi. Terlepas dari apakah kesimpulannya benar atau tidak, setidaknya buat
saya itu benar banget hahaha!
Kali ini gak boleh gagal lagi!
Akhirnya, saya memaksakan diri untuk bangun. Masa' mau gagal melulu.
Padahal udah jalan jauh. Sayang aja kalau sampe gagal lagi.
Udara dingin langsung menerpa wajah saya yang gak tertutup apapun. Kalau
badan hingga kaki sih hangat karena memakai outfit yang cukup tebal.
Kerudung yang saya pakai pun mampu menghangatkan kepala. Tapi memang
dibilang dingin banget juga enggak. Saya tidak memakai sarung tangan tapi
gak bikin tangan saya berasa kedinginan banget. Biasa aja.


Mas Ivan: "Masih kepagian. Nanti aja keluarnya. Sunrisenya masih lama."
Mas Ivan keluar dari tendanya ketika saya dan suami keluar dari tenda. Saya lihat di sekeliling sudah ada beberapa tenda lagi. Entah pukul berapa para pendaki itu datang. Seingat saya, saat kami di sana hingga saya tidur hanya ada 3 tenda. Tenda kami, mas Ivan, dan 1 tenda pendaki lain. Walaupun ketambahan beberapa tenda, tetap suasananya masih sepi. Gak seramai di tempat saya mengunggu Keke. Itu sih udah kayak pasar malam banget!


Saya hanya perlu mendaki bukit kecil di depan tenda untuk melihat
sunrise. Gak sampai 5 menit sudah sampai di atas. Langsung tampak di depan
mata kemegahan gunung Sindoro dan Sumbing. Dari kejauhan terlihat deretan
gunung Merapi, Merbabu, Andong dan Ungaran.
Tempat kami mendirikan tenda sepertinya juga jadi jalur melihat sunrise
sekaligus deretan gunung. Banyak para pendaki yang lewat di depan tenda
untuk melihat sunrise dari bukit. Benar kata mas Ivan kalau tempat kami
mendirikan tenda tidak hanya sunyi tapi juga memiliki pemandangan yang
paling indah.



Keke dan Nai tidak ikut melihat sunrise. Mereka berdua terlihat sangat
nyenyak. Chi pun gak mau membangunkan. Biar aja, lah. Biar mereka
beristirahat. Sayangnya, cuaca hari itu cukup mendung. Sunrise tidak
terlihat maksimal. Bahkan ketika kami memutuskan untuk turun gunung
sekitar pukul 10.00 wib, gunung Sindoro dan Sumbing sudah hampir tidak
terlihat karena kabut.
Turun Gunung via Dieng

Suami: "Bun, mau turun lewat mana? Patak Banteng atau Dieng?"
Kalau lihat waktunya, saya tergiur untuk kembali melalui Patak Banteng. Tapi kalau mengingat kecuramannya, nyali saya langsung ciut. Naik aja ngeri apalagi turun? Khawatir kepleset mana jalurnya sempit. Hiii ...

Jalur Dieng katanya lebih landai tapi sampenya lebih lama. Sebetulnya gak landai-landai amat. Ada di beberapa jalur yang agak menanjak. Banyak juga jalur sempit dan licin bikin beberapa pendaki termasuk saya terpeleset. Sebelnya jarang sekali pohon atau akar besar yang bisa saya jadikan pegangan.

Kaki yang sakit juga memperlambat perjalanan. Beberapa minggu sebelum mendaki, kaki saya sempat terkilir. Pas berangkat ke Dieng, kondisi kaki sudah banyak berkurang sakitnya. Tapi mungkin karena dibawa jalan cukup lama jadinya bengkak dan sakit lagi. Sepatu yang saya pakai jadi terasa menggigit karena sempit gara-gara kaki saya bengkak. Inilah yang bikin perjalanan jadi terhambat karena banyak berhentinya.



Karena terlalu sering berhenti, Keke dan Nai turun lebih dahulu bersama mas Ivan. Seingat saya hanya 2x mereka menunggu saya dan suami. Ketika menemukan persimpangan dan di dekat hutan pinus untuk makan siang. Selain itu saya hanya berdua sama suami. Seharusnya romantis kalau berduaan gitu, ya hihihi. Tapi ini sih boro-boro, kaki saya lumayan sakit. Mas Ivan menawarkan sendal jepitnya untuk saya pakai. Tapi suami keberatan, menurutnya tetap lebih baik pakai sepatu. Apalagi kondisi jalanan yang licin, kalau sampe putus di jalan malah lebih repot.
Setelah sekitar 4 jam perjalanan, sampai juga di pos terakhir. Saya dan anak-anak menunggu di terminal, sedangkan suami dan mas Ivan naik angkot untuk mengambil kendaraan masing-masing yang parkir di pintu masuk Patak Banteng. Lumayan lama kami menunggu karena traffic dari dan ke Patak Banteng sangat macet.
Sambil menunggu, saya menguping obrolan para pendaki yang baru memulai pendakian di hari itu. Ternyata karena long weekend, macet total dimana-mana. Rata-rata menempuh perjalanan hingga 24 jam dari Jakarta menuju Dieng. Bahkan ada yang lebih dari 24 jam. Alhamdulillah, perjalanan kami menuju Dieng tidak selama ini walaupun agak mundur beberapa jam dari rencana awal sehingga membuat kami terpaksa mendaki sore hari.
Selesai dari pendakian gunung Prau, kami tidak langsung pulang. Perjalanan masih dilanjutkan menuju Sikunir. Banyak yang bilang golden sunrise di Sikunir sangat indah. Bukit Sikunir tempat kami melihat golden sunrise berlokasi di desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di pulau Jawa.
Seperti apa ya rasanya tinggal di desa tertinggi? Dan bagaimana indahnya golden sunrise di bukit Sikunir? Bersambung ke cerita berikutnya, ya :)

18 Komentar
Walau nggak liat sunrise, tp naik gunung yg penting sampai puncak. Dan msh ke Sikunir? Woaaa
BalasHapusIya, viewnya tetep cakep walau gak maksimal sunrise nya. Mumpung lagi di sana jadi sekalian hehehe
HapusCeritanya seru!!! Anak2 itu staminanya luar biasa. Mereka selalu siap diajak mendaki gunung. Dua anakku juga begitu Mbak.
BalasHapusanak-anak memang biasanya lebih kuat staminanya apalagi kalau terbiasa aktif
Hapusini beneran jd pgn naik gunung iihhh ^o^.. keke dan nai aja kuat, berarti aku harus kuat :D..
BalasHapusKalo aku justru lbh suka liat sunrise mba.. masih keinget sunrise di sikunir dulu, cakeeeeeppp.... kalo sunset mah buatku biasa aja..pernah ngeliat di danau tonle siamrep, ama di pantai bali, buatku ga istimewa sih ya.. masih jauuuh lebih merinding kalo ngeliat matahari naik :)
jadi, dong hehehe
HapusSama saya juga suka sunrise. Cuma ya itu, deh. Suka susah bangun pagi hahaha
enak banget ya kemping bawa chef :) Nay keren pingin nyobain dong masakannya, mudah2an di baca sama Nay
BalasHapusayo kalau gitu harus camping sama Nai :D
HapusPas aku di akar cinta itu turun kabut. So sweet kayak di twilight wkkwkw
BalasHapushahaha ... tapi di area akar cinta memang paling adem, ya :D
HapusSeruuu liat yang naik gunung begini, anak-anak kuat pula staminanya ya, mba :). Aku suka ngos-ngosan kalo perkara daki gunung... hiks.
BalasHapusiya, Mbak. Anak-anak biasanya lebih kuat staminanya :D
HapusWuih, aku baru sampe Dieng doang.
BalasHapusyuk lanjut Prau :)
HapusKeren pisan ngebolangnya gak tanggung2. Itu peralatan masak bawa sendiri Chi?
BalasHapusiya :)
HapusNai kuat banget sih.. mgkn kalo aku sm nai kuatan nai deh perjalanan petualangan gini
BalasHapusanak-anak biasanya lebih kyat staminanya
HapusTerima kasih untuk kunjungannya. Saya akan usahakan melakukan kunjungan balik. DILARANG menaruh link hidup di kolom komentar. Apabila dilakukan, akan LANGSUNG saya delete. Terima kasih :)